Terlepas dari perpecahan Ummat Islam di Aljazair ketika masa khilafah Utsmaniyah, sehingga timbul beberapa wilayah dan kabilah, Ummat Islam di sana tetap bersatu dalam menghadapi pasukan salib demi menjaga kehormatan Agama Islam. Kaum Sufi-lah yang mempelopori jihad pada masa itu.
Ketika menghadapi pasukan Perancis, beberapa wartawan dari Perancis mengatakan bahwa kemlompok yang mempelopori gerakan perlawanan terhadap serangan Perancis adalah kelompok dari tarekat. Mereka mengatakan :
“Ketika memulai serangan di Aljazair, Penduduk Aljazair bersatu demi mempertahankan negara mereka dan menghadapi serangan musuh. Mereka terdiri dari kaum muslimin dan warga pribumi Aljazair. Pemimpin perlawanan tersebut adalah kelompok-kelompok Tarekat. Merekalah yang mempersatukan masyarakat Aljazair”
Ahmad Tawfiq Madani dalam Tarikh Aljazair mengatakan: “Kelompok Tashawwuf berhasil mempertahankan Islam di saat kebodohan dan kegelapan melanda negara ini. Kalaulah tidak dengan perjuangan mereka, mungkin kita tidak akan menemukan suasana kearaban atau ilmu keislaman di negara ini”
Salah satu Tarekat terbesar pada saat itu adalah Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Rahmaniyah.
Amir Abdul Qadir Aljazairi dikenal sebagi pemimpin mujahidin pada masa itu. Ia dikenal sebagai seorang tokoh shufiy besar pada masanya. Abd Razaq Albaythar menggambarkan beliau sebagai berikut :
“Amir Abdul Qadir adalah pemimpin yang telah mencapai makrifat kepada Allah, menguasai ilmu ketuhanan, telah mencapai muksyafah, pintar berkuda dan memanah, dan pandai berbicara”
Amir Abdul Qadir tumbuh di lingkungan beragama dan pendidikan. Bersama orang tuanya beliau bepergian ke beberapa negara, diawali dengan menunaikan haji ke Mekkah, kemudian melanjutkan perjalanan ke Syam menemui beberapa ulama Tarekat Naqsabandiyyah, setelah itu ke Baghdad untuk berziarah ke makam kakek beliau yaitu Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy dan mengikuti perkumpulan Tarekat Qadiriyah. Beliau juga ke Madinah untuk berziarah ke Makam Rasulullah dan para shahabat. Di sana beliau bertemu dengan seorang ‘Arif billah Muhammad al-Fasi dan beliau mengambil ijazah Tarekat Syadziliyyah. Di sana pula beliau menulis syair pujian atas guru beliau Muhammad al-Fasi dan menyatakan kewalian atasnya.
Akhirnya Amir Abdul Qadir kembali ke negaranya Aljazair. Di negara itu ia mengumpulkan tokoh masyarakat, ulama dan kabilah-kabilah untuk menghimpun kekuatan demi menghadapi penjajah Perancis.
Beliau menulis syair :
“Barangsiapa menjadi penolong Agama Allah,
Maka ia akan selalu menghadapi tantangan”
Amir Abdul Qadir berperang tak kenal lelah melawan pasukan Perancis hingga pihak musuhpun terpana melihatnya. Beliau bisa saja tidak tidur selama seminggu, tidak pernah menyarungkan pedangnya sampai kilapan pedangnya adalah kemuliaan-nya.
Amir Abdul Qadir berperang selama delapan belas tahun dan akhirnya diasingkan dari Aljazair. Bendera perjuangan itu selanjutnya beliau serahkan kepada rakyat Aljazair untuk diteruskan hingga cita-cita perjuangan tercapai. Ia sendiri pergi ke Damaskus untuk meneruskan perjuangannya. Kedatangan beliau di Damaskus disambut dengan senang hati oleh masyarakat setempat. Di sanalah beliau membuka pengajian kitab Syarah Shahih Bukhari dan kitab tashawwuf seperti al-Mawaqif untuk kalangan ulama.
Di Damaskus-lah beliau meninggal dunia dan dimakamkan di Qasiyun disisi makam Syaikh Ibnu ‘Arabi al-Hatimi. Hal ini berdasarkan wasiat beliau sendiri “Bersama orang yang dilimpahkan kenikmatan oleh Allah dari golongan para Nabi, Shiddiqin, Syuhada, Orang Shaleh, mereka adalah teman terbaik”
Barnar, seorang ahli sejarah Perancis berkata : Amir Abdul Qadir AlJazairi adalah orang yang mengagumkan, baik hati, pemberani, teguh dalam beragama, ikhlas, cerdas, kedudukan yang diperolah bukan demi dirinya sendiri melainkan untuk kemenangan Ummat Islam. Ia begitu perkasa ketika berhadapan dengan musuhnya dan penuh kasih sayang ketika memutuskan satu perkara. Dialah musuh yang kami perhitungkan di Aljazair.
Untuk beliau mari kita hadiahkan al-Fatihah…