Oleh Zubair Ahmad
Egoiesme dalam pengertian bahasa adalah tingkah laku yang didasarkan atas dorongan untuk keuntungan diri sendiri daripada untuk kesejahteraan orang lain. Atau, suatu sifat dimana sifat itu melambangkan satu kelebihan,kelalaian dan ketakaburan juga sifat tidak mau mengalah. Dan memandang kepada yang lain dengan kehinaan dan kekurangan dan juga ketidakpercayaan. Ego ini muncul dari nafsu/diri yang merasa memiliki sesuatu, atau memiliki rasa ke-Aku-an, padahal segala yang melekat pada diri manusia sejatinya adalah titipan dari pemilik hakikatnya, yaituAllah Swt.
Wahai Hamba-Ku: Seburuk-buruk pendusta adalah egomu, yang menyatakan kepemilikan akan kepunyaan-Ku di dalam dirimu, dan tiada penipu yang lebih pandai dari pada akalmu sendiri, yang menjadikan engkau buta dari segala sesuatu yang Kudatangkan dan yang Kuambil dari dirimu. (TuangkuSyaikh Muhammad Ali Hanafiah, InilahAku,h. 15)
Kita seringkali menggunakan kata AKU, tetapi kita tidak kenal siapa itu AKUitusendiri. Kata AKU adalah mewakili rasa kepemilikan. AKU adalah hijab yang paling terakhir dan paling tipis, tetapi ke-AKU-an inilah yang paling berat untuk ditembus. Hal itu karena AKU yang sering kita sebut dalamkesehariankitaadalah mewakili ego kita. Namun, orang yang dapat mengurai dan berenang dibalik AKU itu, maka dialah yang dapat menemukan “AKU” sesunggunya, yaitu TUHAN. Namun, perlu berhati-hati! Orang yang sudah menemukan AKU dalam rasanya lalu merasa dirinya adalah adalah TUHAN, maka sesungguhnya ia adalah FIR’AUN. Di sinilahperlunya guru yang menjadi teman pendamping dalam berjalan menuju Allah.
Orang belajar hakikat tauhid itu ibarat orang sakit yang harus melewati masa-masa kritis. Dan masa yang paling kritis bagi seorang pencariTuhan adalah ketika ia berada dalam maqam “keAKUan”. Bila ia berhasil melewati maqam ini maka ia akan mencapai tingkat yang paling mulia, tetapi apabila gagal maka dia akan menjadi orang yang paling sesat (misalnya, merasa bebas dari kewajiban agama, atau menyebut dirinya sebagai tuhan itu sendiri)
Seseorang yang telah mengecil keakuan dalam dirinya, bahkan hilang keakuannya, maka orang itulah yang tersingkap tirainya, antara dirinya dengan Tuhan. Namun, dalam pandangan Tuhan, ke-AKU-an orang sebagai hamba tetap ada, meskipun dirinya merasa bahwa ke-AKU-annya telah hilang. Di sinilah seringkali seorang pencari Tuhan mengalami kegagalan.Ketika timbul perasaan bahwa keakuan dirinya telah hilang dan yang ada hanyalah ke-AKU-an tuhan, maka Ia menganggap bahwa Tuhan pun menganggap diri si pencari ini telah hilang, itu tentu tidak benar.Yang benar adalah bahwa orang yang telah menghilangkan rasa keakuan dirinya, maka akan merasa bahwa dirinya adalah benar-benar hamba yang butuh pada Tuhannya, benar-benar bergantung kepada Allah, dan karenanya mutlak berbakti hanya kepada-Nya. (Tuangku Muhammad Ali Hanafiah, Mukhatabah Ilahiyah, Tanggal 27 Juni 2008).
Pada materi pertemuan sebelumnya telah dibahas bahwa pada saat menciptakan kita, maka Allah meniupkan ruh-Nya. Artinnya, ruh itu milik Allah.Namun, ketika ruh itu dibungkus oleh akal dan nafsu, maka manusia mengambil alih ke-Aku-an Allah menjadi ke-aku-an dirinya.Keakuan manusia itu muncul dari akal dan nafsunya.
Sebetulnya, ke-AKU-an Allah itu telah ada di dalam diri kita, tetapi karena kita merasa ke-aku-an diri kita yang muncul, maka kita tidak akan menemukan keakuan Tuhan. Seorang ulama yang tidak mampu menghilangkan rasa ke-aku-an dirinya, akan kalah dengan orang awam yang mampu menghilangkan ke-aku-an dirinya. Orang yang diberi kemampuan menghilangkan ke-aku-an di dalam dirinnya atau berada pada titik nol adalah sesungguhnya telah berada di depan pintu gerbang rahasia Allah. Perhatikan Ilham Sirriyah berikutini:
Wahai Hamba-Ku: Hamba-hamba-Ku yang mempuasakan rasa kepemilikan dari pada dirinya sendiri, adalah hamba yang telah berdiri di depan pintu gerbang rahasia-Ku, dan bagi hamba-Ku yang memihak kepada kemauan-Ku maka demi apa-apa yang Kutinggikan, niscaya telah Kutempatkan ia dalam Mahligai Kerahasian-Ku. (TS. Muhammad Ali Hanafiah, Inilah Aku, h. 40)
Bagaimana memandang ke-aku-an Tuhan di dalam diri kita? Atau bagaimana menghilangkan keakuan dari diri kita, kecuali terasa yang ada hanyalah ke-AKU-an Allah?
Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah mengajarkan cara untuk menghilangkan rasa keakuan diri dengan bersyukur atas apa yang diberikan Alla pada diri kita. Dengan rasa syukur itu, maka kita akan merasakan bahwa segala yang ada pada diri kita, termasuk harta, keluarga, jabatan, dll itu merupakan karunia dan ketentuan Allah. Dengan memperbanyak syukur, maka berarti kita secara pelan-pelan telah menghilangkan rasa kepemilikan kita atas apa yang kita terima, karena semuaitu akan terasa menjadi titipan Allah. Ini semua akan meningkat kualitas diri, sehingga akan memiliki rasa tawakkal dan berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Maka, tunjukkanlah rasa syukur itu walaupun nikmat yang didapatkan itu bagi orang lain tidak tampak.Syukur itu adalah perasaan untuk melihat keagungan Tuhan di balik segalanya, sehingga kesyukuran itu tidak hanya berlakupadasaatkita menerima nikmat dari Allah, tetapi juga terhadap sesuatu yang hilang dari diri kita. Karena, segala sesuatu itu adalah bukti kasih sayang Allah.
Rasa syukur itu dapat kita wujudkan melalui lisan dan perbuatan. Melalui lisan kita ucapkan pujian kepada Allah (alhamdulillah) atas segala karunia dan kasih sayang Allah kepada kita. Dalam bentuk perbuatan, kita wujudkan dengan ibadah kepada-Nya, dan memanfaatkan semua karunia itu kepada jalan yang dikehendaki Allah. Semakin kita bersyukur, maka semakin pula Allah limpahkan rahmat dan karunianya. Allah berfirman:
وَإِذۡ تَأَذَّنَ رَبُّكُمۡ لَئِن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡۖ وَلَئِن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٞ ٧
Dan (ingatlah juga), tatkalaTuhanmu mema`lumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni`mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni`mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS. Ibrahim 14: 7)
Materi “Dialog tentangKetuhanan” di Masjid BaitulIhsan, Bank Indonesia, tanggal 23Desember 2011 ataskerjasama MMBI dan TICI.